Sadar tidak sadar, ternyata selama ini kita telah menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sejak dalam masa balita atau bahkan batita. hanya saja, bahasa yang kita gunakan kala itu belum memiliki struktur yang jelas, sehingga belum memiliki makna sepenuhnya.
Hal demikianlah yang kemudian menarik perhatian para ilmuan untuk mencari seluk-beluk proses manusia menggunakan bahasa dalam kehidupannya.
Tidak menjadi selayang pandang, ternnyata musyawarah terkait proses manusia berbahasa telah memberikan efek evolusi teroi-teori terhadap dunia pendidikan terutama dalam pembelajaran bahasa.
Diantara teori-teori tersebut yang dapat kita rasakan perjalanannya adalah:
- Teori Mentalistik (Mentalistic Theory)
Digagas oleh Jhon Lock, teori ini memandang bahwa bahasa merupakan isyarat yang dapat dirasakan oleh ranah panca indera untuk kemudian ditransfer ke dalam akal pikiran yang dapat memberikan sebuah respon secara langsung melalui saraf-saraf sensorik dan motorik diri seseorang. Bagi sang penutur, syarat yang harus terpenuhi agar terbentuk bahasa yang dapat dipahami adalah kemampuannya untuk mengolah sesuatu yang terdapat di dalam pikirannya untuk kemudian mempraktikannya dalam bentuk faktual. (Ahmad Mukhtar: 1998, Hl. 57).
Secara terotikalnya, teori mentalistik sejalan dengan teori kognitif yang memandang bahwa kegiatan belajar merupakan suatu kemampuan kognitif yang terdiri dari pola-pola tertentu demi terjadinya kegiatan interaksional dengan berbagai aspek ilmu pengetahuan. inilah yang kemudian teori mentalistik memunculkan suatau keterkaitan atau hubungan istimewa antara bahasa dan akal.
- Teori Kontekstual (Contextual Theory)
- Teori Behavioristik (Behavioral Theory)
- Teori Interaksional (Interactional Theory)
Jika dicermati secara general, beberapa teori diatas sebenarnya telah membentuk serangkaian simbiosis mutualisme yang saling berkaitan dengan aspek-aspek yang menjadi batu pijakannya dalam menghadirkan teori berbahasa dalam diri seseorang.
Referensi:lebih singkatnya, jika teori mentalistik melihat bahwa ketika manusia berbahasa, pada hakikatnya panca inderalah yang menangkap semua rangsangan yang datang berupa hal-hal yang memiliki makna. di mana, posisi rangsangan (stimulsu) tersebut kemudian memunculkan sebuah respon yang ternyata dibahas dalam teori behavioristik (teori ada stimulus maka ada respon) dengan tidak menyampingkan pentingnya melihat makna secara kontekstual/pola/struktur bahasa yang diterima dalam ranah kontekstual teori, sehingga terjadilah interaksi antar manusia itu sendiri. hal demikian juga menggugah bahwa perilaku seseorang dalam berinteraksi menggunakan bahasa tergantung lingkungan dimana bahasa itu digunakan yang secara otomatis berbeda-beda sesuai dengan macam-macam makna dalam berbahasa.
- Khalid Mahmoud Muhammad Irfan, Ahdats Al Ittijaahat fi Ta'lim wa Ta'allum Al Lughah Al Arabiyah, (Riyadh: Daar Al Nasyr Al Dualiy, 1429 H), Hal. 30-35.
0 Komentar